2. Haram.
- Kebalikan dari wajib adalah haram. Yaitu, perintah untuk meninggalkan sesuatu dengan disertai janji pahala bagi yang mematuhinya dan dosa bagi yang melanggarnya. Menurut Imam Hanafi, hukum ini juga didasarkan pada dalil-dalil qath'i (pasti) yang tidak mengandung keraguan sedikit pun. Contoh perbuatan yang diharamkan sangat banyak, di antaranya memakan bangkai, membunuh tanpa sebab, berzina, dan mencuri.
- Haram : Sesuatu hal yang tidak Diperbolehkan biasanya yang terkait dalam hal ini adalah makanan seperti Darah, Bangkai binatang darat, Babi, Anjing, dan beberapa makanan yang dianggap oleh MUI atau tokoh ulama indonesia haram. Terbagi diantaranya :
- Haram Mutlak : hukum yang mengatur apa saja yang dilarang sesuai Alqur’an dan Hadits seperti Zina, Mencuri, Berjudi, Makan makanan yang dilarang oleh agama.
- Haram Ghoiru : hukum yang mengatur apa saja yang dilarang dari asal atau akhir hal tersebut diperoleh. Misal : amal dimasjid, tapi hasil mencuri, makan makanan halal tapi hasil dari korupsi, atau amal baik yang dipamerkan (riak).
3. Sunnah (mandub)
- Adapun perbuatan yang mandub adalah perbuatan yang pelakunya akan diberikan pahala, sedangkan yang meninggalkannya tidak mendapatkan siksa. Dengan kata lain, yang mengerjakan amalan tersebut lebih baik daripada yang tidak mengerjakannya. Contoh dari amalan yang mandub di antaranya adalah shalat sunah dua rakaat sebelum dan sesudah shalat wajib , puasa senin-kamis, infaq, dll. Terbagi diantaranya :
- Sunnah Hadyi : yaitu hukum sunnah sebagai penyempurna Hukum wajib. Orang yang meninggalkannya tidak mendapat apa-apa. contoh adzan, sholat berjamah dan lain - lain.
- Sunnah Zaidah : yaitu hukum sunnah yang dikerjakan sebagai sifat terpuji bagi muslim, karena mengikuti nabi sebagai manusia biasa. seperti makan, minum, tidur dll.
- Sunnah Nafal : yaitu hukum sunnah sebagai pelengkap perkara wajib. Bagi yang mengerjakannya mendapat pahala dan yang meninggalkannya tidak mendapat apa-apa. seperti sholat sunnat.
- Sunnah Muakad : yaitu hukum sunnah yang dianggap mendekati hukum wajib, misal sholat tarawih, sholat idul fitri, sholat idul adha, dll
Menurut Imam Asy-Syatibi dalam kitabnya Al-Muwafaqat , setiap amalan mandub (sunah) yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dapat menyempurnakan ibadah-ibadah wajib, di samping juga mendorong pelakunya agar secara berkelanjutan melaksanakan ibadah-ibadah wajib. ''Barang siapa yang senantiasa melaksanakan ibadah sunah, pasti ia juga menjalankan ibadah-ibadah wajib,'' kata Imam Asy-Syatibi.
4. Mubah.
- Sementara itu, mubah adalah suatu hukum di mana Allah memberikan kebebasan kepada orang-orang mukalaf untuk memilih antara mengerjakan atau tidak. Menurut Imam Asy-Syaukani, orang yang mengerjakan atau meninggalkan amalan yang mubah tidak dikenakan dosa, seperti makan, minum, tertawa, dan lain-lain.
5. Makruh.
- Kategori terakhir dari hukum taklifi adalah makruh. Seperti halnya haram adalah lawannya wajib, makruh adalah lawannya mandub . Menurut para ahli usul fikih, makruh merupakan larangan yang apabila dikerjakan tidak menimbulkan dosa, tetapi bagi yang mampu meninggalkannya akan mendapatkan pahala. Dengan kata lain, orang yang meninggalkannya lebih baik daripada yang melakukannya. Misalnya, orang yang diam lebih baik daripada orang yang banyak membicarakan hal-hal yang tidak berguna.
Hukum wadh'i
Pembahasan hukum dalam ilmu usul fikih tidak berhenti pada hukum taklifi saja. Ada pula hukum yang menghubungkan dua hal dan disebut dengan hukum wadh'i atau hukum kondisional. Yang dimaksud dengan menghubungkan dua hal di sini adalah kondisi yang satu menjadi sebab, syarat, atau halangan bagi yang lain.
Contoh hubungan yang menjadi sebab adalah ketika seseorang telah menyaksikan hilal pada 1 Ramadhan, diwajibkan baginya untuk berpuasa Ramadhan. Berarti, melihat hilal menjadi sebab bagi wajibnya puasa. Rasulullah SAW bersabda, ''Berpuasalah kalian karena melihat bulan (1 Ramadhan) dan berbukalah karena melihat bulan (1 Syawwal).''
Adapun contoh hubungan yang menjadi syarat bagi yang lain adalah mengambil air wudhu menjadi syarat bagi sahnya shalat; adanya saksi menjadi syarat bagi sahnya pernikahan; niat menjadi syarat bagi sahnya puasa, dan lain-lain.
Sedangkan, contoh hubungan yang menjadi penghalang ( mani' ) ialah pembunuhan atau murtad (keluar dari Islam) menjadi halangan bagi seseorang untuk memperoleh harta warisan. Nabi SAW bersabda, ''Seorang pembunuh tidak berhak atas pembagian harta warisan.'' Demikian pula dengan gila dan tidak sadar diri yang menjadi penghalang bagi wajibnya shalat.
Tiga golongan
Ada tiga golongan manusia yang tidak dikenai hukum apa pun. Hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Aisyah RA menyebutkan, ketiga orang itu adalah orang yang tertidur hingga bangun, anak kecil hingga dia baligh (dewasa), dan orang gila hingga dia sembuh.
Sementara itu, Thamrin Zarkasyi dalam Metodologi Hukum Islam menyebutkan, orang-orang yang terhalang (tidak dibebani hukum) karena kurang kecakapan ( Awaridl al-Ahliyyah ) adalah orang sakit, gila, kurang akal, lupa, tidur, pingsan, anak kecil, haid, nifas, dan dalam perjalanan. ''Orang yang dipaksa juga tidak dibebankan sebuah hukum. Karena, ia melakukan itu bukan atas kesadaran sendiri, melainkan karena paksaan dari pihak lain,'' terangnya. ed : sya
Sumber-sumber Hukum Islam
Para ahli ilmu usul fikih sepakat bahwa sumber hukum syariat terdiri atas empat hal, yaitu Alquran, sunah, ijmak, dan qiyas . Sumber hukum yang pertama dan kedua merupakan wahyu dari Allah yang tertulis. Sedangkan, sumber ketiga dan keempat tidak tertulis.
Alquran menempati posisi paling tinggi sebagai sumber hukum syariat karena diturunkan langsung oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dan masih terpelihara keasliannya. Allah berfirman, ''Sesungguhnya, Kamilah yang menurunkan Alquran dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya.'' (QS Alhijr: 9).
Keaslian Alquran ini juga terbukti dari periwayatan yang sama dan berulang-ulang oleh orang-orang yang tidak terbatas jumlahnya. Menurut Hassan Hanafi dalam bukunya Islamologi , hal ini menghindarkan kemungkinan adanya kesepakatan dusta antarmereka. Apalagi, mereka tidak sedang dalam ancaman.
Urutan periwayatan Alquran pertama kali terjadi antara Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad. Nabi SAW menghafal dan membacakan Alquran itu di depan Jibril. Kemudian, Nabi SAW membacakannya di depan para sahabat dan mereka pun menghafalnya. Lalu, tradisi penghafalan ini dilanjutkan oleh para tabiin hingga sekarang ini.
Posisi kedua setelah Alquran adalah sunah. Cakupan sunah lebih luas dari hadis. Menurut Muhammad Abu Zahrah, dalam bukunya Ushul Fqih , sunah meliputi ucapan, tindakan, dan ketetapan Nabi Muhammad SAW.
Abu Zahrah memberikan contoh dari ketiga macam sunah itu. Sunah ucapan, misalnya, terdapat dalam sabda beliau, "Barang siapa tidur hingga meninggalkan shalat atau lupa, kerjakanlah shalat (yang ditinggalkan itu) ketika ingat."
Contoh sunah tindakan adalah perintah beliau, "Lakukanlah shalat sebagaimana kalian melihatku mengerjakan shalat." Dan, contoh dari sunah yang berupa ketetapan adalah sabda Nabi SAW, "Belajarlah dariku, manasik haji kalian."
Ketiga macam sunah itu berfungsi sebagai penopang dan penyempurna Alquran dalam menjelaskan hukum-hukum syariat. Menurut Imam Syafi'i, seperti dikutip oleh Abu Zahrah, Alquran dan sunah harus tidak dibedakan untuk kepentingan penentuan hukum syar'i. Keduanya saling mendukung dalam menjelaskan syariat.
Sumber hukum ketiga adalah ijmak. Hasan Hanafi mengungkapkan, ijma disahkan menjadi dasar hukum syariah karena juga termasuk wahyu Allah. Menurutnya, wahyu terdiri atas tingkatan-tingkatan: wahyu langsung dari Allah, yaitu Alquran; wahyu berupa penjelasan detail dari Rasulullah berdasarkan bimbingan Allah, yaitu sunah; wahyu yang diturunkan kepada umat sehingga mereka bersepakat pada suatu masalah, yaitu ijmak; dan wahyu yang diturunkan kepada akal sesuai dengan Alquran, sunah, dan ijmak.
Pendapat Hassan Hanafi itu menemukan relevansinya dengan hadis Nabi SAW, ''Umatku tidak akan bersepakat atas perbuatan yang sesat.'' Lantas, siapa yang pendapatnya masuk dalam kategori ijmak? Tidak semua orang bisa masuk dalam ketentuan ijmak. Ijmak dianggap sah apabila disepakati oleh para mujtahid yang dikenal ahli dalam ilmu agama, jujur, tidak fasik dan ahli bid'ah, tidak gila, dan sebagainya.
Sumber syariat yang terakhir adalah qiyas . Qiyas disebut Al-Ghazali sebagai dalil akal. Menurut para ahli usul fikih, qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada dasar hukum dari Alquran dan sunah ( nash ) dengan sesuatu yang ada dasar hukum dari nash .
Salah satu contohnya adalah pengharaman arak (khamar). Alasan pengharaman arak terletak pada sifatnya yang memabukkan. Alasan inilah yang menjadi qiyas bagi minuman-minuman selain arak yang juga memabukkan. Oleh karena itu, disepakati oleh para mujtahid bahwa semua minuman yang memabukkan hukumnya haram.
Akan tetapi, karena qiyas ini hasil dari kerja akal, tidak semua ulama sepakat menjadikannya dasar hukum syariat. Ulama Muktazilah, Sayaar an-Nazham, dan tokoh Mazhab Zhahiriyah, Ibnu Hazm, secara tegas menolak qiyas . Karena, menurut mereka, penerapan qiyas berarti mengingkari kesempurnaan Alquran dan hadis yang sudah mencakup berbagai macam persoalan. ali rido
Kemaslahatan dalam Penegakan Syariah
Ada kemaslahatan yang ingin diraih dalam penegakan syariat. Para ahli usul fikih menyebut kemaslahatan itu dengan istilah dharuriyah (primer) dan tahsiniyah (mewah). Dharuriyah adalah suatu tuntutan yang harus dipenuhi demi mempertahankan kehidupan, hak, dan kehormatan. Sementara itu, tahsiniyah merupakan tuntutan yang hanya menjadi pelengkap bagi kebutuhan dharuriyah .
Namun, ada pula ulama yang menempatkan haajiyat (kebutuhan sekunder) dalam urusan kemaslahatan ini setelah dharuriyah . Misalnya, dalam memelihara agama, seorang Muslim dalam perjalanan atau sakit diperbolehkan tidak berpuasa di bulan Ramadhan, namun menggantinya di bulan lain. Diperbolehkan menjamak dan meng-qashar (meringkas) shalat jika dalam perjalanan.
Para ahli usul fikih membagi kemaslahatan dhaduriyah ke dalam lima hal ( maqashid al-syariah'ah ), yaitu kemaslahatan memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta kekayaan. Oleh sebagian pakar usul fikih, agama ditempatkan pada kepentingan paling utama yang mesti dijaga. Karena, menurut mereka, agama merupakan kebutuhan terpenting bagi manusia. Agama meninggikan derajat manusia di atas makhluk-makhluk yang lain.
Akan tetapi, sebagian pakar yang lain menempatkan 'kemaslahatan menjaga jiwa atau kehidupan' pada posisi yang paling utama, di atas agama. Alasannya, tidak ada agama, akal, keturunan, dan harta benda tanpa hidup itu sendiri. Sampai-sampai, untuk mempertahankan jiwa atau hidup itu, semua ulama sepakat bahwa seseorang diperbolehkan memakan binatang yang diharamkan oleh agama. Tentu saja, dengan catatan, tindakannya itu tidak merugikan orang lain.
Meski demikian, kelompok ini tetap mengakui bahwa kesempurnaan hidup terletak pada kesempurnaan agama, akal, keturunan, dan harta kekayaan. Tentang kemaslahatan dharuriyah itu, Imam Al-Ghazali mengatakan, "Kelima kemaslahatan itu merupakan yang paling mendesak."
Menurut sang hujjatul Islam, syariat menetapkan hukuman bagi pembuat bid'ah yang mengajak orang lain kepada bid'ahnya. Hal ini untuk melindungi kebenaran agama orang-orang Muslim. Penerapan hukum qisas untuk melindungi kelangsungan hidup. Hukuman bagi para pemabuk untuk melindungi kejernihan akal mereka. Hukuman bagi para pelaku zina untuk memelihara garis keturunan. Hukuman bagi pencuri untuk menjaga harta seseorang dari ancaman orang lain.
Selain itu, terdapat pula kemaslahatan tahsiniyah . Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya Ushul Fikih memberikan beberapa contoh tahsiniyah dengan cukup detail. Contoh tahsiniyah memelihara agama adalah menutup aurat. Menutup aurat, menurut Abu Zahrah, tidak hanya menghindarkan seorang Muslimah dari fitnah, tetapi juga mengangkat kehormatannya.
Contoh tahsiniyah yang berkaitan dengan memelihara akal adalah melarang siapa pun yang berjualan minuman memabukkan di lingkungan masyarakat Muslim meskipun mereka berniat menyediakan minuman itu untuk orang-orang non-Muslim. Masih banyak lagi contoh tahsiniyah yang berkaitan dengan kehidupan umat Muslim sehari-hari. ali rido